Laman

PENGERTIAN UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pasa pendidikan tinggi, maka di butuhkan badan hukum pendidikan. Badan hukum pendidikan ini berfungsi memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada peserta didik, berprinsip nir laba, dan dapat mengelola dan secara mandiri untuk memajukan pendidikan nasional.

Pengaturan badan hukum pendidikan merupakan, implementasi tanggung jawab Negara, dan tidak di maksudkan untuk mengurangi atau menghidar dari kewajiban kontitusional Negara di bidang pendidikan, tetapi mengikut sertakan peran masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan formal yang berbentuk yayasan atau perkumpulan, yang telah ada sebelum berlakuan undang-undang ini tetap berlaku namun, harus mengikuti peraturan undang-undang, yaitu undang-undang No : 9 tahun 2009 tentang “Badan Hukum Pendidikan”.

Dalam makalah ini, penulis akan sedikit memberikan analisis apakah undang-undang Basan Hukum Pendidikan ini sudah sesuai dengan kebijaksanaan di Indonesia pada umumnya, karena seperti yang penulis ketahui banyak yang menurut pembatalan undang-undang Badan Hukum Pendidikan ini (UU BHP).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis kemukakan, maka rumusan

masalah yang erat kaitanya dengan judul ini adalah.

1. Apa yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan

2. Bagaimana kebijaksanaan pendidikan di Indonesia

3. Apakah ada keterkaitan antara undang-undang pada hukum pendidikan dengan kebijaksanan pendidikan di Indonesia.

C. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, maka tujuan yang akan di capai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan.

2. Untuk mengetahui bagaimana kebijaksanaan pendidikan di Indonesia

3. Untuk mengetahui apakah ada keterkaitan antara undang-undang Badan hukum pendidikan dengan kebijaksanaan pendidikan di Indonesia.

D. Sistematika Penulisan

Makalah ini berjudul : “Analisis Badan Hukum Pendidikan”

Bab satu : Pendahuluan, berisi, latar belakang masalah, perumusan masalah, dan

sistematik penulisan.

Bab Dua : Tujuan teoritis berisi : pengertian undang-undang badan hukum

pendidikan, dan kebijaksanaan pendidikan di Indonesia.

Bab Tiga : Pembahasan berisi : Amalisis undang-undang badan hukum

pendidikan dan keterkaitannya, dengan kebijaksanaan pendidikan di

Indonesia.

Bab Empat : Penutup berisi : simpulan dan saran-saran.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

1. Pengertian Undang-undang Badan Hukum Pendidikan

Kata komtitusi atau undang-undang secara literal berasal dari bahasa prancis “Constituir” yang berarti membentuk. Dalam bahasa Belanda “grond Wet” yang berarti undang-undang Dasar. Sedangkan dalam bahasa Jerman “grund gesetz juga berarti undang-undang dasar.

Secara terminology konstitusi berarti sejumlah aturan-aturan dasar dan ketentuan-ketentuan hukum yang di bentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintah termasuk dasar hubungan kerjasama antar Negara dan masyarakat. (Rakyat dalam komteks kehidupan berbangsa dan bermasyarakat).

Menurut Chairul Anwar, kontitusi adalah funda mental laws, dan menurut Sri Soemantri merupakan suatu masalah yang menurut suatu bangunan Negara dan sendi-sendi sistem pemerintahan Negara.

Kontitusi atau undang-undang dasar sebuah Negara diartikan sebagai suatu bentuk pengaturan tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah Negara, baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kesepakatan masyarakat untuk di atur. Aspek lain dalam pengertian ini dapat berupa aspek sosial maupun aspek filosofis dalam arti asas-asas yang didasarkan pada alas an-alasan tertentu.

KC Wheare, mengartikan kontitusi sebagai keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara. Peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sikap hukum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum (non legal). Berdasarkan pengertian ini, kontitusi merupakan bentuk pengaturan tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah Negara, baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kesepakatan masyarakat untuk di atur. Aspek lain dalam pengertian ini dapat berupa aspek sosial maupun aspek filosofis dalam arti asas-asas yang didasarkan pada alas an-alasan tertentu.

C.F. Strong mengatakan bahwa kontitusi memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsoldasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam Negara.

James Bryce mendefinisikan kontitusi sebagai suatu kerangaka masyarakat politik (Negara) yang diorganisir dengan dan melalui hokum. Dengan kata lain, hukum menetapkan adanya lembaga-lembaga permanent dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan. Kontitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekusaan pemerintah, hak pihak yang diperintah (rakyat) dan hubungan diantara keduanya. Komtitusi bisa berupa sebuah catatan tertulis; kontitusi dapat diketemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman atau kontitusi dapat juga berwujud kesimpulan hukum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hukum kontitusi.

Dalam prakteknya, kontitusi terbagi dua bagian yaitu tertulis atau yang dikenal dengan undang-undang dasar dan tak tertulis atau konvensi. Dalam perkembangannya ada beberapa pendapat yang membedakan antara kontitusi dengan undang-undang dasar, menurut Herman Heler kontitusi lebih luas dari pada undang-undang dasar, kontitusi tidak hanya bersifat yuridis melainkan juga bersifat sosiologi dan politis, dalam bukunya “Demokrasi, hak asasi manusia masyarakat madani, salah seorang tim ICCE UIN syarif Hidayatullah, Jakarta.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia edisi III Balai Pustaka, Badan Hukum (perkumpulan) yang dalam hukum diakui sebagai sebyek hukum. Secara bahasa pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang (usaha mendewasakan manusia) melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Pendidikan dalam pengertian khusus menurut Dr. Kartini Kartomo dalam bukunya “Tinjauan Holistik mengenai tujuan pensisikan nasiomal”, berarti upaya terencana dan sistematik untuk membawa anak didik ketujuan-tujuan pendidikan tertentu dan kedewasaan. Sedang dalam pengertian luas, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha untuk memberikan pengetahuan, wawasan, keterampilan, keahlian dan pengalaman guna mengembangkan bakat dan keperibadian individu (manusia).

Pendidikan yang asal katanya dari “paedagogre” berasal dari bahasa Yunani terdiri dari kata “PAIS” yang artinya anak, dan “AGAIN” diterjemahkan membimbing, jadi pedagogre yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak.

Secara definitive pendidikan diartikan oleh para tokoh pendidikan sebagai berikut :

a. John Dewey

Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan funda mental secara intelektual danemosional kea rah alam dan sesame manusia.

b. Lange Veld

Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya dewasa, usaha membimbing adalah usaha yang di sadar dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa dengan anak/yang belum dewasa.

c. Hoogeveld

Mendidik adalah membantu anak supaya ia cukup cakap menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri.

d. S.A. Bratanata dkk.

Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik klangsung maupun tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaannya.

e. Rousseu

Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa amak-anak akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.

f. Ki Hajar Dewantara

Mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

g. Undang-undang No : 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Menurut Drs. H. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati dalam bukunya “Ilmu Pendidikan” pendidikan hakekatnya suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang di cita-citakan dan berlangsung terus menerus.

Rupeat C. Lodge dalam philosophy of Education (1973 : 23) menyebutkan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman anak mendidik orang tuanya, murid mendidik gurunya, anjing mendidik tuannya, semua yang kita sebut atau kita lakukan dapat disebut mendidik kita, begitu juga yang dikatakan dan dilakukan oleh selain kita, dapat disebut mendidik kita. Dalam pengertian yang luas ini kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu.

Pendidikan menurut rumusan Joe Park, sebagai “The Art or Prosess of Imathing, or acquiring khowledge and habit through instructional as study (Park : 1960 : 3). Dalam definisi ini terkenan kegiatan pendidikan diletakkan pada pengajaran (Instruetion), sedangkan segi keperibadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan.

Definisi pendidikan dalam arti sempit menurut Lodge (1974 : 23) pendidikan, adalah pendidikan sempit, adalah pendidikan disekolah, jadi pendidikan adalah pendidikan formal.

Melihat beberapa definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa undang-undang badan hukum pendidikan adalah landasan hukum bagi penyelenggaraan atau satuan pendidikan dalam mengelola pendidikan formal yaitu jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasr, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

2. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia

Dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai wujud dari amanat mencerdaskan kehidupan bangsa, ada banyak masalah yang segera harus di pecahkan, masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Ketidak Seimbangan, Meliputi

Pertama ketidak seimbangan mengenai jumlah penduduk yang berada pada usia sekolah dengan fasilitas yang tesedia untuk mereka, meskipun persoalan ini pada tingkat sekolah dasar sudah teratasi, tetapi pada jenjang pendidikan diantaranya terlebih dengan adanya wajib belajar 9 tahun, berkonsekuensi bagi penyediaan perasaan dan sarana, biaya dan tenaga pendidikan yang memadai kedua, ketidak seimbangan pendidikan secara horizontal yang bersentuhan dengan jenis dan jenjang pendidikan. Tingkat kemampuan yang di capai dibidang pendidikan kejuruan dan teknik relatif kurang dibanding pendidikan umum, baik secara nol maupun prasarananya.

  1. Pemerataan Pendidikan Meliputi

Kesempatan saran-saran memperoleh layanan pendidikan, tetapi dengan adanya keberagaman kemampuan, minat, kondisi fisik, ekonomi dan faktor individualitas akan menimbulkan masalah.

  1. Kualitas Pendidikan Meliputi

Masalah kualitas mengajar guru dan kualitas belajar siswa, serta kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga tidak adanya peningkatan mutu pendidikan.

  1. Relevansi Pendidikan Meliputi

Masalah yang timbul berkaitan dengan hubungan antara system pendidikan dan pembangunan nasional serta kepentingan perseorangan, kerluarga dan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

  1. Efektivitas Pendidikan Meliputi

Keampuan melaksanakan sistem pendidikan nasional yaitu efektivitas belajar siswa dan efektivitas mengajar guru. Dalam pengajaran yang efektif, guru dapat mengajar bagaimana seharusnya siswa belajar, dan menginter-nalisasikan nilai-nilai agar siswa mau belajar terus menerus sepanjang hayat.

  1. Efisiensi Pendidikan Meliputi

Seberapa sumber-sumber potensi pendidikan, baik yang bersifat manusiawi maupun non manusiawi yang sangat terbatas, dapat dioptimalkan penggunaannya:

Disamping masalah-masalah diatas, kebijaksanaan pendidikan di Indonesia juga berhadapan dengan isu-isu controversial yaitu.

1. Kuantitas vs Kualitas

Harus ditangani secara berimbang, meskipun konsekuensi logisnya, keduanya tidak akan bias berhasil sebagaimana yang dikehendaki.

2. Efektivitas vs Efisiensi

Manajemen pendidikan yang baik senantiasa berupaya agar tujuan pendidikan tercapai secara efektif dan efesien.

3. Sentralisasi vs Pesentralisasi

Adanya kurikulum yang bermuatan nasional, ia yang disentralkan dari atas, dan kurikulum yang bermuatan local, yang berasal dari, untuk dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah.

4. Etatisme vs Swastanisasi Pendidikan

Urusan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara orangtua, masyarakat dan pemerintah.

  1. Nasionaisme vs Globalisme

Menumbuhkan perilaku tidak menolak terhadap apa-apa yang berasal dari luar secara selektif dan tetap menghargai apa yang menjadi kreasi bangsa sendiri.

  1. Konservativisme vs Progresivisme

Pendidikan akan maju tetapi dengan arah, tetapi ter lembagakan dengan baik tetapi tetap maju menurut dinamikanya sendiri dan suprasistem luarnya.

  1. Generalisme vs Spesialisme

Maslah prinsip kesinambungan dalam kurikulum, senantiasa menempatkan wawasan general dan special pada tempatnya masing-masing.

  1. Relevansi vs Kemandirian

Konsep kemandirian menengah anak senantiasa terpendam kepada duania usaha yang ada, melainkan dapat menyiasati segala peluang yang ia lihat hingga menjadi lapangan kerja guru.

Kebijaksanaan pendidikan yang relevan dan dibutuhkan dimasa depan untuk menghasilkan manusia berkualitas adalah .

  1. Pengikat kualitas pendidikan
  2. Peningkatan kesiapan peserta didik menghadapi dunia yang selalu berubah
  3. Peningkatan kemandirian anak melalui pengajaran
  4. Mengarahkan anak didik di lembaga pendidikan kearah karyanyata.
  5. Penanaman kedisiplinan yang tinggi kepada peserta didik di lembaga-lembaga pendidikan.
  6. Penanaman keimanan, ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa, agar senantiasa mengendalikan diri dari perbuatan tercela.
  7. Penanaman kesetiakawanan diantara teman sebangsa untuk mengingatkan hakekat dirinya sebagai makhluk peribadi dan sekaligus makhluk sosial.

Melihat tuntunan manusia Indonesia di masa depan, serta arah kebijaksanaan pendidikan yang di ambil, maka strategi belajar mengajar yang harus dikembangkan tidaklah cukup sekedar menempatkan guru pada posisi sential melainkan haruskah ada upaya lain berupa :

  1. Mengajar tidak cukup hanya sekedar menyampaikan pengetahuan, tetapi mengajar siswa bagaimana caranya belajar agar tercipta kemandirian.
  2. Belajar mandiri yang diharpkan tidak hanya didalam kelas saja tetapi dapat terwujud hingga sepanjang hayat.
  3. Adanya keterbukaan antara siswa dengan guru dalam menerima informasi maupun kritik dan saran dari masing-masing pihak bila memang lebih baik.
  4. Guru harus lebih banyak menghargai prestasi mandiri siswa hingga menimbulkan semangat kemandirian meskipun tanpa hadiah atau imbalan apapun.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP)

UU Badan Hukum Pendidikan, disahkan berdasarkan persetujuan bersama DPR RI dan Presiden RI pada tanggal 16 Januari tahun 2009 di Jakarta, merupakan UU RI No : 9 tahun 2009. UU Badan Hukum Pendidikan dibuat dalam rangka mewujudkan :

1) Fungsi dan tujuan pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2) Otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal.

3) Melaksanakan amanat pasal 53 ayat 4 UU No : 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dengan penerapan, manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, yang berarti bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan yaitu, kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Sedangkan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya yang diharapkan agar tumbuh dan berkembang kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas dan mobilitas sebagai persyaratan agar ilmu teknologi dan seni dapat berkembang secara paripurna. Untuk menwujudkan otonomi tersebut maka UU sisdiknas menentukan bahwa penyelenggaraan dan/atau suatu pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hokum pendidikan (BHP), artinya, sekolah/madrasah serta perguruan tinggi akan otonomi bila secara hokum diberi setatus sebagai badan hokum yaitu pemili hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban pendirinya.

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) terdiri dari : 14 Bab, 63 pasal, 4 pasal aturan peralihan dan pasal aturan penutup, yang meliputi :

Bab I : Ketentuan umum

II : Fungsi, Tujuan dan perinsip

III : Jenis, bentuk, pendirian dan pengesahan

IV : Tata kelola

V : Kekayaan

VI : Pendanaan

VII : Akuntabilitas dan pengawasan

VIII : Pendidik dan tenaga kependidikan

IX : Penggabungan

X : Pembubaran

XI : Sanksi Administrastif

XV : Sanksi pidana

XIII : Ketentuan peralihan

XIV : Ketentuan penutup

Badan hukum pendidikan (BHP) adalah badan hukum bagi penyelenggaraan dan atau satuan pendidikan formal yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berperinsip hirtaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk majukan satuan pendidikan.

Bentuk dari badan hokum pendidikan terdiri dari :

1. Badan Hukum Pendidikan pemerintah (BHPP) adalah badan hokum pendidikan yang didirikan pemerintah

2. Badan hokum pendidikan pemerintah daerah (BHPPD) adalah badan hokum pendidikan yang didirikan oleh pemerintah daerah.

3. Badan hokum pendidikan masyarakat (BHPM) adalah badan hokum pendidikan yang didirikan oleh masyarakat.

4. Badan hokum pendidikan penyelenggaraq (BHP penyelenggara) adalah yayasan, perkumpulan yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan dilalui sebagai badan hokum pendidikan.

Badan hukum pendidikan bertujuan mewujudkan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, dan otonomi pada jenjang penddikan tinggi.

Pengelolaan dana secara mandiri didasarkan pada prinsip-prinsip :

  1. Nirlaba : prinsip yang kegiatan tujuan utamanya pada prinsip laba, sehingga seluruh hasil sisa usaha kegiatan ditanamkan kembali kedalam hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.
  2. Otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri, baik dalam bidang akademik maupun nonakademik;
  3. Akuntable, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  4. Transparan, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan.
  5. Penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui standar Nasional pendidikan, serta meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan;
  6. Layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik, demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik;
  7. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan pelayanan pendidikan kepada calon peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, setatus sosial agama, dan status sosial serta kemampuan ekonomi;
  8. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya masing-masing;
  9. Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan tersebut;
  10. Partisipasi atas tanggung jawab Negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab Negara.

Jenis badan hukum pendidikan terdri atas BHP penyelenggara dan bahan hukum pendidikan satuan pendidikan, BHP penyelenggara dapat menyelengarakan satu atau lebih satuan pendidikan formal, sedangkan badan hukum pendidikan satuan pendidikan hanya pada satuan pendidikan formal.

Bentuk badan hokum pendidikan satuan pendidikan terdiri dari :

1. BHPP didirikan oleh pemerintah dengan peraturan pemerintah atas usul menteri.

2. BHPPD didirikan oleh pemerintah daerah dengan peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota.

3. BHPM didirikan oleh masyarakat dengan aktanotani yang disahkan dan menteri.

Pendirian badan hokum pendidikan harus memenuhi persyaratan sebagi berikut :

  1. Mempunyai tujuan di bidang pendidikan formal
  2. Mempunyai struktur organisasi.
  3. Mempunyai organ penutup kebijakan umum tertinggi.
  4. Mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah danoprasional.

Fungsi penentu kebijakan umum dan fungsi pengelolaan pendidikan wajib di miliki oleh badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah, sedangkan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, harus mempunyai fungsi pokok sedikitnya 4 (empat) yaitu :

  1. Fungsi penentu
  2. Fungsi pengawasan akademik
  3. Fungsi audit bidang non akademik dan
  4. Fungsi kebijakan dan pengelolaan pendidikan.

Badan hukum pendidikan tidak mengarah pada komersialisasi dan privatisasi karena :

  1. UU sisdiknas menegaskan bahwa BHP berperinsip nirlaba yang berarti semua sisa lebih dari kegiatan yang dilakukan BHP, harus dikembalikan untuk kepentingan pengelolaan suatu pendidikan di dalam BHP.
  2. Undang-undang dasar 1945 serta UU sisdiknas menjamin alokasi 20 persen dari APBN dan APBD untuk mendanai pendidikan, sehingga pemerintah tidak lepas tanggungjawab dan tetap mendanai penyelenggaraan pendidikan.
  3. Pemerintah dan pemerintah daerah menanggung seluruh biaya oprasional, investasi, bahkan beasiswa dan bantuan biaya pendidikan BHP yang menyelenggarakan wajib belajar pendidikan dasar. Selain itu, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung sekurang-kurangnya dua pertiga biaya operasional, investasi, beasiswa serta bantuan biaya pendidikan BHP yang menyelenggarakan pendidikan menengah dan tinggi.
  4. Peserta didik menanggung paling banyak satu pertiga dari biaya operasional BHP, berdasarkan keadilan proporsional yaitu membayar berdasarkan kemampuan orang tua/diri sendiri/pihak yang membiayai.
  5. BHP wajib menyediakan beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi paling sedikit 20% dari jumlah peserta didik di dalam satuan pendidikan yang dikelola. Dan untuk beasiswa dan bantuan biaya pendidikan ini ditanggung oleh pemeintah dan/atau pemerintah daerah.

No comments:

Post a Comment