Laman

ALIRAN MURJI'AH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua agama yang diturunkan Allah SWT ke muka bumi (agama wahyu), menempatkan tauhid di tempat yang pertama dan utama, karena itu setiap rasul yang diutus Allah SWT mengemban tugas untuk menanamkan, tauhid kedalam jiwa umatnya, mengajak mereka supaya beriman kepada Allah, menyembah, mengabdi dan berbakti kepadanya, melarang mereka menyekutukan Allah dalam bentuk apapun, baik zat, sifat, maupun af’alnya.

Misi risalah semacam ini pulalah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW, karena itu, tema sentral setiap da’wah dan seruannya adalah tauhid, bahkan, pada awal masa kerasulannya adalah tauhid, selama dimekah, beliau memfokuskan perhatian kepada pembinaan tauhid ini sehingga semua aktifitas da’wahnya diarahkan ke masalah tauhid, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada periode mekkah pun berisi masalah-masalah ketauhidan beliau dan baru pada masa madinah diarahkan kepada pembinaan hokum-hukum Allah, itu tanpa meninggalkan, bahkan untuk memperkokoh tauhid.

Mendahulukan dan mengutamakan aspek aqidah (tauhid) di dalam risalah Nabi Muhammad SAW daripada aspek hokum, bukan saja karena tauhid merupakan dasar pokok ajaran islam dan fondasi yang didirikan di atasnya. Bangunan-bangunan hokum /moral, dan sebagainya, tetapi juga karena hokum-hukum Allah tersebut tidak akan bisa diterima dan dilaksanakan dengan baik dan benar tanpa keimanan yang kuat dan kokoh, penerimaanm penghayatan dan pengamalan terhadap hukum-hukum tuhan haya bisa terwujud dengan baik jika seseorang memiliki keimanan yang kuat. Sebaliknya, hukum-hukum tuhan juga diperlukan untuk memantapkan ketauhidan seseorang, makin baik seseorang melaksanakan hukum-hukum tersebut, makin kuat bertambah imannya dengan demikian aqidah (tauhid) dan hukum (syari’at) mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dan tak terpisahkan.

Pada zaman rasul SAW, sampai masa pemerintahan usman bin affan (644,656M, problem ketauhidan (teologis) di kalangan umat islam belum muncul problem ini baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abithalib (656-661M) dengan munculnya beberapa kelompok/aliran karena perbedaan pendapat dalam masalah tahkim antara ali dengan muawiyah, bin abi sufyan , gubernur syam, pada waktu perang shiffir.

B. Perumusan Masalah

Dalam makalah yang berjudul yang berjudul “Aliran Murji’ah” ini penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana asal-usul kemunculan aliran murji’ah

2. Apa pokok ajaran aliran murji’ah

3. Bagaimana sekte-sekte yang ada di aliran murji’ah

C. Tujuan Penulisan

Setiap penulisan pasti mempunyai tujuan, dan tujuan tersebut harus dicapai, adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui asal-usul pokok ajaran Murji’ah

2. Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran aliran Murji’ah

3. Untuk mengetahui sekte yang ada di aliran Murji’ah

D. Sistematika Penulisan

Setelah mengetahui latar belakang masalah, maka penulis mengemukakan bagian-bagian yang akan di bahas, dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan yang meliputi : Latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : Aliran Murji’ah yang meliputi asal-usul kemunculan aliran Murji’ah,

Pokok-pokok ajaran aliran Murji’ah, sekte-sekte aliran Murji’ah.

BAB II : Penutup yang meliputi, kesimpulan dan saran-saran

BAB II

ALIRAN MURJI’AH

A. Asal-Usul Kemunculan Aliran Murji’ah

Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau Arja’a, yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan, kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah, selain itu, Arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.

Term Murji’ah juga bisa memberikan pengertian “menangguhkan hokum perbuatan seseorang sampai di hadapan Allah SWT. Golongan ini memang berpendapat bahwa muslim yang berbuat dosa besar tidak dihukum kafir, tetapi tetap mukmin, mengenai dosa besar yang dilakukannya di serahkan kepada keputusan Allah Nanti. Allah bisa mengampuni dosa itu, bisa pola tidak, semuanya merupakan urusan Allah SWT, dengan demikian muslim yang berdosa besar masih mempunyai harapan mendapatkan ampunan Allah SWT. Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah.

Teori Pertama : Mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam. Ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme, Mutji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersaman dengan kemunculan syi’ah dan khawarij.

Teori ke dua : Sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. dengan menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan usman, ali dan zubayar (seorang tokoh pembelot ke mekah).

Teori ketiga : menceritakan ketika terjadi perseteruan antara ali dan muawiyah dalam perang shiffin, dilakukan tahkim/arbitase atas usulan. Amr bin Ash, kaki tangan muawiyah, kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra kelompok kontra yaitu golongan khawarij, menyatakan bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an karena tidak berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa pelaku tahkim adalah dosa besar, pendapat ini ditentang oleh sekelompok sahabat yang kemudian disebut golongan murji’ah yang menyatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah apakah dia akan mengampuninya atau tidak.

B. Pokok-Pokok Ajaran Murji’ah

Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan politik dan teologi, dibidang politik doktrin irja di implementakan sebagai sikap “dram”, sikap politik netral atau non blok, adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan ketika menanggapi persoalan yang mencakup iman, kufur dosa besar dan ringan, tauhid tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dasar besar, kemaksuman Nabi, hukuman atau dosa, ada yang kafir dikalangan generasi awal islam, tobat, hakikat Al-qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan tuhan (Gibb and Krimmers, Hlm 412).

Doktrin teologi murji’ah menurut W. Mango Merry watt :

a. Penangguhan keputusan terhadap ali dan muawiyah, hingga Allah Memutuskannya di akhirat kelak.

b. Penangguhan Ali Untuk menduduki tangking ke empat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.

c. Pemberian harapan (Giving Of Hope), terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dadri Allah.

d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (Madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan helenis

Doktrin teologi murji’ah, menurut Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokiknya yaitu:

a. menunda hukuman atas Ali, Muawiyah Amr bin Ash, dan abu musa Al-asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak

b. Menyerahkan keputusan Allah atas orang muslim yang berdosa besar

c. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal

d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Abu A’la Al-Mahmudi menyebutkan dua doktrin periode ajaran Murji’ah.

a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasulnya saja, adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman, berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.

b. Dasar keselamatan adalah iman semata, selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang, untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya menjalankan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

C. Sekte-sekte Murji’ah

Dalam perkembangannya mazhab murji’ah yang Samman dan Dirar bin Umar mengalami perbedaan pendapat dikalangan para pendukung Murji’ah sendiri.

Al Syahrastani membagi kelompok-kelompok Murji’ah yang dikutip Watt, Early Islam hal (181) yaitu sebagai berikut :

a. Murji’ah Khawarij

b. Murji’ah Qadariyah

c. Murji’ah Jabari’ah

d. Murji’ah Murni

e. Murji’ah sunni (tokohnya adalah abu hanifah)

Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte murjiah

  1. Al-Jahmiyah, pengikut John bin Shufwan
  2. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi
  3. Al-Yunushiyah, Pengikut Yunus As-Samary
  4. As-Samriyanh, Pengikut abu samr dan yunus
  5. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Sufyan
  6. Al-Ghailaniyah, pengikut abu marwah Al-Ghailan bin marwan ad-Dimsaqy
  7. An Najariyah, Pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr
  8. Al-Hanifyah, pengikut Abu Harfah An-Nu’man
  9. Asy-Syabibiyah, pengikut muadz Ath, Thaum’i

Harun Nasution secara garis besar membagi dalam 2 sekte yaitu :

  1. Golongan moderat
  2. Golongan eksterim

Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir’ tidak pula kekal di dalam neraka, mereka di siksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang tuhan dan Rasul-rasulnya, serta apa saja yang datang darinya secara keseluruhan namun dalam garis besar, iman dalam hal ini tidak bertambah dan berkutang, penggagas pendirian ini adalah; Al Hasan bin Muhammad bin Abi Bin Thalib, abu hanifah, abu yusuf dan beberapa ahli hadist.

Murji’ah ekstrim diantaranya adalah kelompok-kelompok sebagai berikut :

a. Jahmiyah, Kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya keada tuhan kemudian menyatakan kekufurannya, secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.

b. Shalihiyah, Kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu tuhan salat bukan merupakan ibadah kepada Allah

c. Yang disebut ibadah adalah iman kepadanya dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa da haji bukanlah ibadah melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.

d. Yunusiyah dan Ubaidilah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan, dalam hal ini, muqotil bin sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politerest).

e. Husaniyah, menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan “saya tahu tuhan melarang makan babi tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”. Maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir begitu pula orang yang menyatakan, “saya tahu tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau tempat lain”.

Pendapat-pendapat ekstrim seperti diuraikan di atas menimbulkan pengertian bahwa, hanya imanlah yang penting dan menentukan mukmin atau tidaknya mukminnya seseorang, perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini, karena yang penting ialah iman dalam hati, ucapan dan perbuatan tidak merusak iman.

Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat memperlemah ikatan moral yang akan mengakibatkan adanya masyarakat bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan dari norma akhlak yang berlaku, karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma akhlak kurang penting dan diabaikan, inilah kelihatannya yang menjadi penyebab kurang baik dan kurang disenangi dari ajaran aliran Murji’ah.

Tetapi pendapat dari golongan Murji’ah moderat, sesuai dengan pendapat dari golongan Asy’ariah atau golongan ahlu sunnah bahwa, iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke esaan Allah dan tentang kebenaran Rasul-rasulnya serta segala apa yang mereka bawa mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun islam hanya merupakan cabang iman. Pelaku dosa besar jika meninggal dunia tanpa taubat, ada kemungkinan diampuni tetapi ada pula tidak akan diampuni, tetapi akan di siksa dahulu dineraka.

Golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah, tetapi ajaran mereka tentang iman, kufur dan dosa besar masuk ke dalam aliran ahli sunah wal jama’ah, adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah hilang tetapi dalam prakteknya, secara tak sadar banyak umat manusia mengikuti aliran Murji’ah ekstrim.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

- Aliran Murji’ah mempunyai pendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir tetapi tetap mukmin dan keputusannya ditangguhkan sampai hari akhirat

- Seorang pendosa besar selama masih ada iman akan tetap masuk surga dan kepatuhan atau ibadahlah yang akan menentukan derajat seseorang dalam sorga.

- Golongan Murji’ah moderat maupun ekstrim sudah tidak ada lagi pada dewasa ini sebgai golongan berdiri sendiri, tetapi sebagian ajarannya ada yang masih dipergunakan oleh golongan yang lain seperti ahli sunah wal jama’ah.

B. Saran-saran

Penulisan makalah ini tentulah banyak sekali kekurangannya, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun baik dari dosen mata kuliah aqidah/Ilmu kalam maupun dari rekan-rekan mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

- Nasution Harun, DKK, Teologi Islam, Aliran-alian Sejarah Analisis Perbandingan, U.I Pers Jakarta.

- Anwar Rosihan, Drs. Rosak Abdul, Drs. M.Ag, Ilmu Kalam, Pustaka setia

- Asmuni Yusran, H.M, Drs, Ilmu Tauhid, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

- Al Maududi Abdul ‘Ala”. Al Khalifah Wa Al-Mulk, Terjema’ahan Muhammad Al-Baqir, Mizan Bandung, 1994.

4 comments: