Laman

HUKUM ISLAM DALAM KETENTUAN HAK WARIS

BAB I

PENDAHULUAN

Kata mawaris merupakan jama’ dari kata waris, artinya segala hal yang menyangkut warsisan, dengan demikian, mawaris atau hokum waris dalam islam ialah hokum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan harta kekayaan seseorang setelah yang bersangkutan meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum waris dalam islam disebut pula dengan faraidh, karena di dalamnya terdapat bagian-bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.

Tujuan mawaris adalah untuk menyatakan agar masalah harta warisan yang sering menjadi sumber sengketa dalam keluarga diatasi dengan semata-mata tunduk kepada ketentuan ilahi.

Masalah mawaris,bersumber pada ketentuan Allah dalam Qs. Annisa Ayat 11, 12 dan 176, dan hadits rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh muslim dari abu dawud.

اقسمو المال بين اهل الفرائض على كتا ب الله

“Bagilah harta kepada para ahli waris berdasarkan kitab Allah.

BAB II

WARISAN

Tujuan mawaris adalah untuk menyatakan agar masalah harta warisan yang sering menjadi sumber sengketa dalam keluarga diatasi dengn semata-mata tundauk kepada ketentuan ilahi. Masalah mawaris atau faraidl bersumber pada ketentuan Allah Swt.

Unsur-unsur mawaris.

Urgensi mawaris, disamping dipahamkan dari tujuannya tersebut, juga dipahamkan dari unsur-unsurnya. Ada tiga unsur mawaris menurut hukum islam, yaitu ;

1. Pewaris (Muwarits)

2. Harta warisan (Mauruts)

3. Ahli waris (waris)

a. Pewaris

Pewaris ialah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta bagi keluarganya. Menurut hukum islam, pewaris sebelum meninggal tidak dibenarkan menunjuk orang-orang yang akan mendapat harta yang kelak ditinggalkannya, berapa perolehan masing-masing dan bagaimana mengalihkan harta tersebut. Sebab, semuanya telah ditentukan Allah secara pasti yang harus dilaksanakan. Kalaupun ada kebebasan yang diberikan kepadanya terbatas pada pengalihan sepertiga harta yang ditinggalkannya untuk seseorang yang dikehendakinya.

b. Harta Warisan

Harta warisan atau harta peninggalan ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris yang sepenuhnya merupakan miliknya yang dapat dialihkan kepada ahli warisnya. Mengenai utang pewaris, ahli waris hanya bertanggung jawab sebatas pada jumlah harta yang ditinggalkannya. Namun anak atau ahli waris yang baik akan selalu berusaha untuk membayar utang pewaris berdasarkan pertimbangan akhlak islami.

c. Ahli waris

Ahli waris adalah orang atau orang-orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Ahli waris adalah orang atau orang-orang yang mempunyai hubungan darah dan atau hubungan perkawinan.

Seseorang baru dinyatakan sebagai ahli waris kalau memenuhi persyaratan berikut :

1) Masih hidup sewaktu pewaris meninggal dunia

2) Tidak ada penghalang bagi dirinya sebagai ahli waris

3) Tidak tertutup oleh ahli waris utama

Orang-orang baru dinyatakan ahli waris karena hubungan darah (nasabiah) adalah terdiri dari (1) anak laki-laki dan anak perempuan, (2) cucu, laki-laki maupun perempuan, (3) ayah, (4) ibu, (5) kakek, (6) nenek, (7) sudara laki-laki dan sudara perempuan, sekandung, seayah atau seibu, (8) anak saudara, (9) paman, dan (10) anak-anak paman, sedangkan orang-orang yang termasuk hal waris karna perkawinan (sababiah) hanyalah suami, atau istri saja (QS) An-Nisa (4):(12). Dengan demikian, hubungan perkawinan ini tidak menyebabkan hal kewarisan apa pun bagi kerabat suami atau kerabat istri. Dilihat dari segi perolehannya, hukum islam membedakan dua macam hal waris, yaitu: (1) hal waris yang ditentukan bagiannya secara pasti (al-furudl almuqaddarah), dan hal waris yang tidak ditentukan bagiannya secara pasti (ashabah). Yang tergolong ahli waris dzawal furudl al-muqaddarah adalah: (a) anak perempuan, (b) cucu perempuan, (c) ibu, (d) nenek, (e) saudara perempuan sekandung (f) saudara perempuan sebapa, (g) saudara perempuan seibu, (h) isteri, (i) ayah, (j) kakek, (k) saudara laki-laki seibu, dan (l) suami.

Diantara mereka ada yang mendapat bagian:

A. 2/3, yaitu:

(1) 2 anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki ;

(2) 2 cucu perempuan atau lebih, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki;

(3) dua saudara perempuan seibu-sebapak atau lebih, jika tidak ada anak atau cucu, bapak atau kakek, dan tidak ada pula saudara laki-laki seibu sebapak;

B. 1/2, yaitu:

(1) suami, jika tidak ada anak atau cucu;

(2) seorang anak perempuan, tidak lebih, jika tidak ada anak laki-laki ;

(3) seorang cucu prermpuan, tidak lebih, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki;

(4) seorang saudara perempuan seibu sebapak, tidak lebih, jika tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki seibu sebapak, dan tidak ada pula bapak atau kakek;

(5) seorang saudara perempuan sebapak, tidak lebih, jika tidak ada anak laki-laki, bapak atau kakek, cucu perempuan lebih dari seorang, saudara laki-laki seibu sebapak, saudara perempuan seibu sebapak, dan tidak ada pula saudara laki-laki sebapak;

C. 1/3, yaitu:

(1) ibu, jika tidak ada naak, atau saudara lebih dari seorang;

(2) saudara seibu lebih dari seorang, jika tidak ada anak, cucu bapak, atau kakek;

D. 1/4, yaitu:

(1) suami, jika ada anak atau cucu;

(2) istri, jika tidak ada anak atau cucu;

E. 1/6, yaitu:

(1) bapak, jika ada anak atau cucu;

(2) kakek, jika tidak ada bapak;

(3) ibu, jika ada anak, cucu, atau saudara lebih dari seorang;

(4) nenek, jika tidak ada ibu;

(5) Cucu perempuam, jika tidak ada anak laki-laki;

(6) saudara perempuan sebapak, seorang atau lebih, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki bapak, saudara laki-laki seibu-sebapak atau sebapak saja, tetapi ada saudara perempuan seibu-sebapak;

(7) seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan, jika tidak ada anak, cucu, bapak, atau nenek

F. 1/8, yaitu isteri, seorang atau lebuh, jika ada anak atau cucu.

Selebihnya adalah ahli waris yang tergolong tidak ditentukan bagiannya (ashabah) dalam kasus tertentu adalah mereka yang mendapat bagian keseluruhan harta warisan bila tida ada ahli waris dzaw al-furudl al-muqaddarah, atau mereka mendapat sisa harta, sesudah dikenalkan bagian dzaw al-furudl al-muqaddarah, dengan pembagian yang terbuka yaitu (1) anak laki-laki, dan (2) cucu laki-laki dari anak laki-laki yang memperoleh bagiannya ditentukan oleh ada atau tidak adanya ahli waris lain dari ahli waris dzaw al-furudl ada yang terhalang (mahjub) oleh ahli waris yang lebih dekat (ulu al-qurba) sehingga tida mendapatkan harta warisan dari yang meninggal, seperti cucu laki-laki tidak mendapat karena ada anak laki-laki demikian pula kakek karena ada bapak, juga nenek tida dapat, karena ada ibu. Dalam kusus seseorang meninggal yang meninggalkan ahli waris istri dua anak laki-laki, dua anak perempuan ibu, ayah, kakek, nenek seorang cucu laki-laki dua cucu perempuan dan dua orang saudara laki-laki maka yang akan memperoleh bagian hayalah istri (1/8), dua anak laki-laki dan dua anak perempuan (ashabah), ibu (1/6), dan ayah (1/6). Sedangkan selebihnya tidak memperoleh yaitu kakek karena terhalang (mahjub) oleh bapak, nenek karena ada ibu, cucu dan saudara karena ada anak di kalangan ahli waris, ada kelompok yang dinyatakan terhalang hak kewarisan (manawi’ al-irts), karena (1) perbedaan agama, (2) pembunuhan, dan (3) perbudakan.

1. Pelaksanaan Mawaris

Sebelum dilakukan pembagian harta waris, terlebih dahulu wajib memperhitungkan biaya-biaya yang digunakan untuk; (a) biaya perawat dan pengurusan jenazah (tajhiz); (b) hutang, sesudah dikurangi biaya tajhiz, dengan ketentuan hal warisan hanya ditentu membayar tidak lebih dari ditinggalkan, kemudian (c) wasiat, yang merupakan hal seseorang atas hartanya untuk diberikan kepada orang yang dikehendakinya, di luar ahli waris, tetapi jumlahnya tidak melebih sepertiganya.

A. Prinsip-prinsip mawaris

Prinsip-prinsip dalam hukum waris islam meliputi lima hal, yaitu; (1) ijbari, (2) bilateral, (3) individual, (4) keadilan berimbang, dan (5) akibat kematian.

1. Prinsip Iijbari

Prinsif ini menujukkan bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah, tanpa tergantuang kepada kehendak perwaris bahwa ahli waris wajib menerima peralihan harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan Syara’; oleh sebab itu, calon pewaris, tidak perlu repot-repot merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal, karena dengan kematian-Nya kelak harta itu dengan sendirinya beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan.

Lebih jelasnya, = dalam mawaris dapat dilihat (1) dari segi perahlian harta yang pasti terjadi setelah pewaris meninggal dunia, (2) dari jumlah harta yang sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, dan (3) dari mereka yang akan menerima peralihan harta peninggalan itu adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkwinan dengan pewaris.

2. Perinsip kewarisan bilateral

Perinsip ini menujukan bahwa seseorang menerima hak peralihan harta dari kerabat keturunan dari laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan (QS An-Nisa (4) : 7,11 sampai dengan 12 dan 176). Salam (QS An-Nisa (4):7) disebutkan bahwa seseorang berhak mendapat waris, baik dari ayah maupun ibunya.

3. Perinsip Indivifual

Prinsip ini menujukan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara prorongan. Setiap ahali waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada hal waris lain, karena bagian masing-masing sudah ditentukan. Dengan demikian, sestem kewarisan kolektif tidak sesuai dengan sistem kewarisan Islam, karena kemungkinan di dalamnya terdapat harta anak yatim yang wajib dilindungi.

4. Perinsip Keadilan Berimbang

Pereinsip ini mengandung arti bahwa dalam sistem kewarisan Islam harus selalu ada keseimbangan antara hal dan kewajiban yang harus ditunaikanya. Laki-laki dan perempuan mendapat hal yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulanya masing-masung (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masarakat. Dalam sistem kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima ahli waris pada hakikatnya merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada keluarganya, seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya (QS AI-Baqarah(2):233) menurut kemampuannya (QS Ath-Thalaaq (65):7). Dengan demikian, dengan bagian harta peninggakan yang diperoleh seorang laki-laki dan seorang perempuan dari hal warasnya, manfatnya akan dirasakan bersama.

5. Prisip Akibat Kematian

Menurut ketentuan hukum Islam, perahlian harta peninggalan dari seseorang yang kemudian disebut pewaris kepada orang lain, yang kemudian disebut hali warisnya terjadi setelah orang yang mempunyai harta peninggalan itu meninggal duni. Hal ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat berailh kepada orang lain dan disebut sebagai harta peninggalan, selama orang yang mempunyai harta tersebut masia hidup. Dengan demikian, segala bentuk perahlian harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang dilaksanakan kemudian setelah kematiannya, tidaklah tarmasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum islam.

B. Masalah-Masalah Sekitar Mawaris

1. Pengunduran Diri Sebagai Penerima Waris

Yang dimaksud dengan pengunduran diri sebagai penerima waris adalah pengunduran diri dalam arti tidak menerima bagian waris yang harus diterimanya, dengan mendapat ganti uang atau barang atas permintaannya atau persetujuan salah seorang atau seluruh ahli waris lainya. hal ini diberikan, selama hal itu dilakukan atas dasar kerelaan, sebagai yang terjadi di masa sahabat, berdasarkan riwayat Ibnu umar baha salah seorang istri Abd Al-Rhman bin ‘auf tidak menerima bagian warisan dengan meminta ganti sejumlah uang sebesar 83.000 diraham.

2. Anak dalam kandung

Menurut ilmu fiqih, kedudukan anak dalam kandungan, termasuk kategori mempunyai kemampuan untuk memiliki yang kurang (ahliyah al-wujub naqrshah), yang dibedakan dengan orang yang sudah hidup yang mempunyai kemampuan untuk memiliki secara sempurna (ahliya al-wujub al- kamilah), kedudukannya sebagai ahli waris tergantng kepada keadaannya setelah ia lahir ke dunia. Jika hidup maka ia akan mendapat waris, tetapi jika meninggalkan ia tidak mendapat waris dari orang tuanya yang meninggal.

3. Ahli Waris Maqfud

Yang dimaksud dengan Maqfud ialah orang yang tidak diketahui secara pasti apakah ia masih hidup atau sudah meninggal, dan tidak pula diketahui tetap tinggalnya. Kedudukan orang tersebut tidaklah jelas karena tidak diketahui secara pasti apakah ia masih hidup atau telah meninggal ketika pewaris meninggal dunia padahal hiduya seorang ahli waris merupakan sarat baginya untuk mendapat waris dari seseorang.

Hal ini harus menunggu keputusan hakim. Apakah yang bersangkutan dianggap masih hidup atau telah meninggal. Jika warisnya harus disimpan, tetap jika menganggap ia telah meninggal, hak waris dibagikan kepada ahli waris yang ada.

Dalam hal maqfud merupakan satu-satunya ahli waris, atau sebagai ahli waris yang menghalangi kedudukan ahli-ahli waris lainnya, maka pembagian waris harus ditangguhkan hingga persoalannya jelas.

Mengenai waktu penetapan hakim atas kematian maqfud mempunyai pengaruh terhadap pembagian waris. Jika penetapan hakim tentang kematian tersebut terjadi ketika pewaris masih hidup, maka ia tidak memperoleh harta waris. Namun jika penetapan tersebut kemudian dari kematian pewaris, maka ia memperoleh bagiannya dari harta yang disimpan.

C. Mawaris

Kajian dalam bidang mawaris meliputi berbagai aspek dan pada modul ini kajian hanya dibatasi pada aspek tertib ahli waris dalam perbagian harta waris. Sebelum melakukan pembagian harta waris harus ditentukan lebih dahulau siapa yang termasuk ahli waris setelah itu baru dilakukan pembagian harta waris kepada ahli) waris dengan tertib ahli waris sebagai berikut.

a. Ashhabul furudl

Ashhabul furudl adalah ahli waris yang mempunyai bagian tertentu sesuai dengan Al-Quran dan hadits.

Ahli waris yang termasuk sahhabul furudl yaitu: (1) Suami, (2) Ayah, (3) Kakek dan seterusnya ke atas, (4) Saudara laki-laki seibu, (5) Istri, (6) Ibu (7) anak perempuan. (8) Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, (9) saudara perempuan seibu seayah (10) saudara perempuan seibu (11) saudara perempuan seayah dan (12) nenek dan seterusnya ke atas. Mereka harus didulukan pada waktu membagi harta waris.

Asahhabul furudl terbagi dua bagian. Yaitu:

1) Asahhabul furudl sabadiyah, yaitu orang yang mendapat bagian harta waris sebab perkawinan, yakni suami dan istri.

2) Asahhabul furudl nasabiyah, yaitu orang yang mendapat pusaka dengan sebab hubungan, yakni sahhabdul furdlu selain suami dan istri. memberi bagian harta waris kepada sahhabul furudl semuah dengan bagian yang ditentukan Al-Qur’an dan hadits dinamakan memberi waris dengan jalan fardhu.

b. Ashabah nasabiah

Ashabah nasabiah yaitu kerabat laki-laki yang mempunyai hubungan darah dengan seseorang baik hubungan langsung seperti anak laki-laki dan ayah dengan perantaraan laki-laki saja seperti saudara laki-laki seayah dan cucu laki-laki dari anak laki-laki atau dengan perantaraan laki-laki dan perempuan bersama-sama seperti saudara laki-laki seibu seayah.

Ashabah nasabyah tida mempunyai bagian waris tertentu sisa harta peninggalan sesudah diberikan kepada ashhabul furudi menurut bagian masing-masing diambil ashabah masabyah. Apabila ashhabul furudi mengabiskan semua harta peninggalan, maka ashabah nasabyah tidak tida mendapat bagian apabila tidak ada ashhabul furudi, maka ashabah masabiah mendapat semua harta peniggalan, apabila dia seorang diri dan dibagi sama rata diantara mereka apabila berbilang dan bersamaan tingkat kekerabatan

Memberi harta warisan kepada ashabah nasabiyah dinamakan memberi harta waris’dengan jalan ta’shib

Apabila ashabah nasabiyah bersama ashhabul furudl ,maka dapat terjadi tiga kemungkinan, yaitu:

1) Ashhabul furudl terdinding ashabah nasabiyah sehingga tidak mendapat bagian harta waris. Keadaan demikian dinamakan haibu hirmain. Dalam keadaan demikian, ashabah nasabiyah mengambil semua harta peninggalan, misalnya seseorang meninggal dengan meninggalkan anak laki-laki, saudara perempuan seibu-seayah, dan saudara perempuan seibu. Dalam hal ini seluruh harta peninggalan diambil anak laki-laki, karena ahli waris yang lain terdinding anak laki-laki.

2) Ashhabul furudl tidak terdinding ashabah nasabiyah dan mereka tidak menghabiskan harta peninggalan. Dalam keadaan demikian ashhabul furudl mengambil bagian mereka masing-masing, sedang ashabah nasabiyah mengambil sisa, misalnya seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan ibu, isteri, dan anak laki-laki. Dalam hal ini ibu mendapat fardhurn’a yaitu seperenam, isteri mendapat fardhunya yaitu seperdelapan, dan sisanya diambil anak laki-laki.

3) Ashhabul furudl tidak terdinding ashabah nasabiyah, tetapi mereka menghabiskan harta waris. Dalam keadaan demikian ashabah nasabiyah tidak mendapat bagian arta waris, karena tidak ada sisa yang dapat diambil dengan jalan ta’shib, misainya seorang isteri meninggal dengan meninggalkan suami, saudara perempuan seibu seayah, dan saudara laki-laki seayah. Dalam hal ini suami mendapat setengah dengan jalan fardhu dan saudara perempuan seibu seayah mendapat setengah dengan jalan fardhu. Dengan demikian habislah semua haria waris dan tidak ada sisa lagi untuk ashabah nasabiyah. Oleh karena itu, saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian harta waris.

c. Dzawur raddi atau ashhabur rahli

Dzawur raddi ialah orang yang mendapat bagian sisa harta waris, setelah mereka mendapat bagian waris dengan jalan fardhu. Yang termasuk dzawur raddi adalah ashhabul furudi nasabiyah selain ayah dan kakek.

Oleh karena itu apabila ada sisa harta peninggalan sesudah bagian ashhabul furudl diberikan dan tidak ada ashabah nasabiyah yang berhak menerima sisa, maka sisa harta diberikan kepada ashabul furudl nasabiyah selain ayah dan kakek sesuai dengan fardhu mereka masing-masing. Tidak dikembalikan sisa harta waris kepada ayah dan kakek, karena keduanya dapat menerima pusaka dengan dua jalan yakni jalan fardhu dan ta’shib. Sedang tidak dikembalikan sisa harta kepada suami dan isteri, karena pengembalian harta kepada suami dan isteri dilakukan pada waktu tidak ada ahli waris yang dekat. Pengembalian sisa harta waris kepada ashhabul furudi sesuai dengan bagian mereka masing-masing. Hal itu dinamakan memberi harta waris dengan jalan radd.

Apabila seseorang meninggal dengan meninggalkan ibu dan saudara laki-laki seibu, maka ibu mendapat sepertiga dengan jalan fardhu dan saudara laki-laki seibu mendapat seperempat dengan jalan fardhu. Dengan demikian rnash ada sisa dan sisa itu dikembalikan kepada mereka berdua sesuai dengan fardhu mereka masing-masirg.

Apabila seorang istri meninggal dengan meninggalkan suami dan seorang anak perempuan, maka suami mendapat seperempat dengan jalan fardhu dan perempuan mendapat setengah dengan jalan fardhu, sedang sisanya yaitu seperempat diambil anak perempuan dengan radd, sebab suami tidak mendapat hak radd.

d. Dzawul arham

Dzawul arham yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, tetapi tidak termasuk ashhabul furudl da’i tidak pula ashabah nasabiyah, misalnya cucu dan anak perempuan, anak perempuan dan saudara lakilaid seibu seayah, anak laki-laki dan saudara perempuan seibu seayah, saudara perempuan ayah, dan saudara ibu.

Apabila orang yang meninggal tidak meninggalkan ashhabul furudl dan ahabah nasabiyah, maka dzawul arham mengambil harta peninggalannya. Apabila ada suami atau istri maka mereka mengambil fardhunya dan sisanya untuk dzawur arham. Memberi harta waris kepada dzawul arham dinamakan memberi harta waris dengan jalan rahim.

e. Mengembalikaii sisa harta kepada suarni atau istri

Sisa harta dikembalikan kepada suami atau isteri, apabila tidak ada ashhabul furudl, ashabah nasabiyah, dan dzawul arham. Apabila orang yang menerima harta waris hanya suami atau isteri, maka semua harta diberikan kepada mereka dengan jalan fardhu dan radd.

Apabila tidak ada salah seorang di antara lima golongan tersebut di atas, maka harta waris dimiliki bukan dengan jalan waris oleh:

1) Orang yang diakui oleh orang yang meninggal ada hubungan kekerabatan.

2) Orang yang menerima wasiat lebih dan sepertiga harta dan berlaku tanpa memerlukan persetujuan siapa pun.

3) Baitul mal

BAB III

PENUTUP

Simpulan

Hukum waris dalam islam ialah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan harta kekayaan seseorang setelah yang bersangkutan meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum waris dalam islam disebut faraidh, karena didalamnya terdapat bagian-bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu.

Tujuan mawaris adalah untuk menyatakan agar masalah harta warisan yang sering menjadi sumber sengketa dalam keluarga diatasi dengan semata-mata tunduk kepada ketentuan Allah Swt.

Masalah mawaris bersumber pada ketentuan Allah, dalam Qs. Annisa Ayat 11, 12 dan 176.

Ada tiga unsur mawaris menurut hukum islam yaitu :

a. Pewaris

b. Harta warisan

c. Ahli waris

Seseorang baru dinyatakan sebagai ahli waris kalau memenuhi persyaratan yaitu :

  1. Masih hidup sewaktu pewaris meninggal dunia
  2. Tidak ada penghalang bagi dirinya sebagai ahli waris
  3. Tidak tertutup oleh ahli waris utama

Orang-orang yang termasuk ahli waris karena hubungan darah (nasabiyah) terdiri dari : (1) Anak laki-laki dan anak perempuan (2) Cucu (3) Ayah (4) Ibu (5) Kakek (6) Nenek (7) Saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung seayah atau seibu (8) anak saudara (9) paman (10) Anak-anak paman. Dan orang-orang yang termasuk ahli waris karena perkawinan (sababiyah) hanyalah suami atau istri saja. Dilihat dari segi perolehannya, ahli waris dibagai dua yaitu : (1) Ahli waris yang ditentukan bagiannya secara pasti (Al-Furdl Al-Muqadarrah) seperti (a) Anak perempuan (b) Cucu perempuan (c) Ibu (d) nenek (e) saudara perempuan sekandung (f) saudara perempuan seibu (g) saudara perempuan sebapak (h) istri (i) ayah (j) kakek (k) saudara laki-laki seibu (l) suami.

Selebihnya ahli waris yang tergolong tidak ditentukan bagiannya (ashabah) dalam kass tertentu adalah mereka yang mendapat bagian keseluruhan harta warisan, bila tidak ada ahli waris dzawal furudl al-Muqadarah atau mereka mendapat sisa harta, sesudah dikeluarkan bagian dzawal furdl al-Miqadarah, yaitu (1) Anak laki-laki (2) cucu laki-laki dari anak laki-laki yang memperoleh bagiannya ditentukan oleh ada tidaknya ahli waris lain.

Sebelum dilakukan pembagian harta waris, terlebih dahulu dia wajib memperhitungkan biaya-biaya diantaranya, (a) biaya perawatan dan pengursan jenazah (tajhiz) (b) htang (c) wasiat yang merupakan hak seseorang atas hartanya yang diberikan kepada orang yang dikehendakinya di luar ahli waris tetapi jumlahnya tidak melebihi sepertiganya.

Prinsip-prinsip mawaris :

  1. Prinsip Ijbari
  2. Prinsip Kewarisan bilateral
  3. Prinsip Individual
  4. Prinsip Keadilan berimbang
  5. Prinsip Akibat kematian

Masalah-masalah sekitar mawaris

  1. Pengunduran diri sebagai penerima waris
  2. Anak dalam kandungan
  3. Ahli waris maqfud ; yaitu orang yang tidak diketahui secara pasti apakah dia masih hidup atau sudah meninggal.

DAFTAR PUSTAKA

Tim Departemen Agama.2003. FISIP-UT. Pendidikan Agama Islam. Penerbit UT.

Jakarta.

No comments:

Post a Comment