Laman

PENGARUH BUDAYA BARAT TERHADAP REMAJA DAN MASYARAKAT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman era Globalisasi sekarang ini amatlah pesatnya sehingga membuat kita sering takjub dengan segala penemuan-penemuan baru disegala bidang. Penemuan-penemuan baru yang lebih banyak didominasi oleh negara-negara Barat tersebut dapat kita simak dan saksikan melalui layar Televisi, koran, Internet dan sebagainya yang sering membuat kita geleng-geleng kepala sebagai orang Indonesia yang hanya bisa menikmati dan memakai penemuan orang-orang Barat tersebut. Penemuan-penemuan baru tersebut merupakan sisi positif yang dapat kita ambil dari negara-negara Barat itu sedangkan di negara-negara Barat itu sendiri makin maju dan modern diiringi pula dengan bebasnya mereka dalam bertindak dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi suatu kebiasaan yang membudaya.

B. Tujuan Penulisan

Dalam penyusunan Paper ini tujuan penulis adalah :

Memaparkan suatu masalah yang belakangan ini sudah mulai marak dalam masyarakat kita akibat majunya media informasi baik elektonik maupun cetak sehingga membuat kaum remaja mudah terpengaruh.

Menyarankan agar semua orang terutama kaum ramaja/i dan semua orang ikut mewaspadai budaya Barat dan perlu menyaringnya agar tidak ikut terambil sisi negatif dan merusaknya.

Menerapkan ilmu Sosiologi yang menuntun agar peka terhadap masalah-masalah sosial dari masyarakat kita sekarang ini.

Sebagai suatu tugas akhir penulis sebelum mengikuti ujian semester I jurusan Sosiogi.

C. Rumusan Masalah

- Bagaimana sikap remaja sekarang menanggapi budaya barat ?

- Bagaimana Masyarakat sunda (Islam) dalam menghadapi budaya barat ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kecenderungan remaja sekarang untuk meniru budaya barat yang merusak

Kebiasaan-kebiasaan orang Barat yang telah membudaya tersebut hampir dapat kita saksikan setiap hari melalui media elektronik dan cetak yang celakanya kebudyaan orang-orang Barat tersebut yang sifatnya negatif dan cenderung merusak serta melanggar norma-norma ke Timuran kita sehingga ditonton dan ditiru oleh orang-orang kita terutama para remaja yang menginginkan kebebasan seperti orang-rang Barat. Kebudayan-kebudayaan Barat tersebut dapat kita mulai dari pakaian dan mode, musik, film sampai pada pergaulan dengan lawan jenis.

Pakaian dan mode seperti model pakaian ‘U can See’ yang diterapkan oleh orang Barat ditiru oleh kaum-kaum remaja kita terutama oleh kaum perempuan yang merasa bangga dengan pakaiannya sehingga tidak menutup auratnya. Dalam musik, memang industri musik di negara kita berkiblat pada industri musik di negara Barat karena kepandaian mereka dalam menemukan dan mencampurkan berbagai jenis musik baru dan sering berinovasi yang menjadi trend seperti rock alternative yan sekarang bisa mereka kembangkaan menjadi sesuatu yang lebih baru. Namun ada juga jenis musik Barat yang cenderung aneh dan merusak seperti jenis musik UnderGound, Punk dan Black Metal yang cenderung brutal dan menyeramkan. Jenis musik Underground sekarang ini di Padang sudah mulai menggejala dimana sering diadakannya konser-konser “Soud of Death” dan “Padang Bawah Tanah” yang menampilkan musik dan nama-nama Group yang aneh dan menyeramkan seperti Cindaku, Mayat, Roh, pelet dan lain-lain. Penampilan mereka pun punya ciri khas tersendiri seperti celana hitam dan baju kaos hitam yang dihiasi dengan gambar-gambar meneyramkan serta rambut panjang yang dicat warna kuning ditambah anting-anting di hidung dan telinga plus dengan sepatu tinggi hitam. Musik yang mereka mainkan pun sangat sulit dimengerti dan diiringi dengan tari-tarian yang menyeramkan sehingga sering disebut “Musik Setan”. Pernah seorang kawan penulis yang menganut musik UnderGround memakai baju kaos hitam bertuliskan “Live For Satan’ dengan gambar setan merah bertanduk namun ia bangga memakainya karena mencerminkan kebebasan dan kemoderenan. Kalau budaya begini sampai merebak maka dikhawatirkan para remaja bukan lagi menyembah Tuhan melainkan menyembah setan yang sebetulnya menjadi musuh manusia. Begitu juga dengan musik Punk dan Black Metal yang juga “Satanic” (berbau setan). Dalam majalah Hai edisi baru-baru ini penulis baca tentang “SlipKnot” di New York yang konsernya dihiasi dengan layar merah darah digambari pentagram dengan kepala kambing yang dikenal sebagai simbol “pemuja setan”. Sewaktu konser mereka kerap mengucapkan kata-kata umpatan yang kotor. Kalau budaya Barat begini yang ditiru, maka remaja kita nantinya diasumsikan akan mengalami anomi dalam dirinya sebagai generasi penerus bangsa.

Film : Film-film Hollywood yang sering mengumbar kekerasan dan adegan vulgar sering menjadi tontonan bagi kaum remaja kita sebab mereka terpengaruh dan ikut menirunya padahal yang seperti iiu tidak sesuai dengan budaya Timur kita yang masih kuat norma-norma keagamaannya.

Pergaulan : Dalam hal pergaulanpun budaya Barat cenderung merusak seperti pergaulan dalam suatu genk yang diwarnai dengan pemakaian obat-obatan terlarang, begitu juga dengan pergaulan dengan lawan jenis yang lebih bebas lagi seperti begitu berkenalan langsung jatuh hati dan akhirnya diakhiri dengan berkencan sehingga timbul budaya kumpul kebo.

B. Masyarakat sunda-islam dalam menghadapi budaya barat

Menurut tradisi lisan masyarakat Sunda, Islam mulai masuk ke dalam kehidupan masyarakat Sunda pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Berdasarkan berbagai data banding, antara lain berupa naskah Carita Parahyangan, baik yang “asli” (1580) maupun yang kemudian disusun kembali oleh Pangeran Wangsakerta (1693), dan naskah-naskah karya “Panitia Wangsakerta” pada umumnya (1677-1698), besar sekali kemungkinan bahwa tokoh Prabu Siliwangi itu adalah Prabu Siskala Wastukancana, anak Prabu Maharaja, yang berkuasa cukup lama (1371-1475) (Ayatrohaedi 1986).

Pada masa itulah mulai tumbuh pemukiman orang Islam di Cirebon, kemudian di berbagai daerah sepanjang pesisir utara Jawa Barat, sementara penguasa negara Sunda masih tetap memeluk agama yang lama (Hindu-Budha). Kesaksian mengenai hal ini antara lain ditemukan dalam laporan perjalanan Tome Pires, yang pada awal abad ke-16 turut dalam pelayaran mengelilingi dunia. Tome Pires mengatakan bahwa kerajaan Sunda mempunyai enam buah bandar; bandarnya yang paling timur, Cimanuk, dikuasai oleh orang-orang Islam. Pada saat itu (+ 1513) Cirebon dikatakan tidak termasuk lagi sebagai daerah kerajaan Sunda, tetapi sudah berdiri sendiri, dan di situ kekuasaan Islam sudah sepenuhnya tegak (Cortesao 1944).

Sejak itu, terlebih-lebih setelah Sunan Gunung Djati menguasai Banten (1525) dan Sunda Kelapa (1527), boleh dikatakan masyarakat di sepanjang pesisir utara Jawa Barat “menjelma” menjadi masyarakat Islam. Dalam pada itu, masyarakat pedalaman sedemikian jauh masih tetap mempertahankan tradisi dan kepercayaan mereka yang lama. Sejumlah naskah yang kemudian dikenal sebagai “naskah-naskah Ciburuy”, misalnya, merupakan salah satu petunjuk akan masih kuatnya tradisi sebelum Islam itu. PadahaS, banyak di antara naskah itu yang berasal dari abad ke-18 akhir. Naskah-naskah itu di antaranya ialah naskah Sewakadarma (Ayatrohaedi 1988), Carita Ratu Pakuan (Aca 1970), Kawih Peningkes dan Jatiniskala (Ayatrohaedi dkk. 1987).

Namun, kerena pusat-pusat kebudayaan Sunda sudah sepenuhnya bercorak Islam, khazanah lama yang tersimpan di kabuyutan-kabuyutan terpencil itu tidak lagi sempat menyebar. Tradisi lama hanya bertahan di pencilan-pencilan itu, dan dalam percaturan kebudayaan kemudian menjadi pusat-pusat pertahanan budaya lama yang kian terdesak. Demikianlah, akhirnya mulai abad ke-19, jika orang berbicara tentang masyarakat Sunda, maka salah satu ciri khasnya adalah Islam.

Kesadaran manunggalnya Sunda dan Islam itu paling akhir mencuat dalam Musyawarah Masyarakat Sunda II, yang diselenggarakan dalam tahun 1967. Ungkapan Islam-Sunda dan Sunda-Islam haruslah dilafadzkan dalam satu tarikan nafas, tanpa memperhatikan bahwa kedua hal itu mengandung perbedaan yang agak mendasar: Sunda-Islam tidak sama dengan Islam-Sunda.

Jika orang berbicara tentang Sunda-Islam, sebenarnya kita berbicara tentang masyarakat Sunda, sedangkan Islam di situ merupakan salah satu ciri utama jatidirinya. Dalam kaitan itu, Sunda-Islam digunakan untuk membedakannya dari kelompok masyarakat Sunda yang lain dengan ciri utama jatidiri yang bukan Islam, misalnya Sunda-Kristen, Sunda-Ateis, dan Sunda-Hindu. Sebaliknya, Islam-Sunda haruslah diartikan bahwa yang menjadi pokok adalah Islam, dan Sunda merupakan salah satu ciri untuk membedakannya dari Islam yang lain. Jika kita berbicara tentang Islam-Sunda, tentunya kita pun akan dapat berbicara tentang Islam-Jawa, Islam-Arab, Islam-Cina, dan Islam yang lainnya.

Dengan demikian, “masyarakat Sunda-Islam” haruslah diartikan sebagai suatu masyarakat yang warganya terdiri dari orang Sunda, dan menjadikan Islam sebagai salah satu ciri utama jatidirinya. Kemudian, jika benar bahwa menurut sejarah sejak abad ke-19 praktis seluruh masyarakat Sunda (berusaha) menjadikan Islam sebagai jatidirinya, berarti bahwa makalah ini berbicara tentang masyarakat mayoritas Sunda. Dengan kata lain, yang dibicarakan adalah masyarakat Sunda sebagai suatu masyarakat yang utuh, dengan beberapa pengecualian dari kelompok masyarakat Sunda yang kurang berperanan dalam suasana sentuh budaya dengan masyarakat lain, misalnya orang Kanekes.

Dengan pengertian itu berarti bahwa masyarakat Sunda-Islam terdapat di semua lapisan masyarakat, hidup di berbagai daerah pemukiman, dengan kasab (profesi) yang bermacam-macam, dengan latar dan lingkungan pendidikan , sosial, budaya, dan adat kebiasaan yang berbeda pula.

Jika orang berbicara tentang budaya Barat, pada umumnya pokok pembicaraan adalah budaya yang dihidupi dan menghidupi Barat, terutama Eropa dan Amerika. Batasan “Barat” mengacu pada Eropa dan Amerika itu antara lain terlihat dalam nama salah satu Jurusan di Universitas Leiden, Sociologie der niet-Westerse Volken (Sosiologi Bangsa-Bangsa Bukan-Barat), yang ternyata wilayah kajiannya meliputi bangsa-bangsa yang bukan Eropa dan Amerika. Dengan kata lain, niet-Westerse Volken ialah semua bangsa yang bukan Eropa dan Amerika.

Jika batasan itu diterapkan kepada masyarakat Sunda, nampaknya ciri-ciri itu hampir semuanya cocok. Masyarakat Sunda-Islam adalah masyarakat bukan Barat, bukan Kristen, dan teknologinya belum begitu maju (setidaknya menurut tolok ukur Barat itu sendiri). Dengan demikian, budaya Barat pun tentulah harus memiliki ketiga laksana atau atribut itu. Budaya barat ialah budaya yang menghidupi dan dihidupi masyarakat Ero-Amerika yang perkembangan dan pengembangannya didasari oleh agama Kristen (mulanya) dan pada masa kini ciri utamanya adalah teknologi.

Budaya barat ini mulai masuk Indonesia bersamaan dengan mulai datangnya bangsa Eropa, yaitu sekitar abad ke-16. Pendukung budaya Barat yang berturut-turut muncul di Indonesia ialah orang-orang Portugis, Belanda, Spayol, Inggris, Perancis, Jerman, dan akhirnya juga Rusia. Corak budaya yang mereka bawa diterima oleh berbagai lingkungan masyarakat yang berlainan, dengan catatan bahwa pengaruh yang paling besar tentunya berasal dari budaya Belanda, sesuai dengan panjangnya masa pemengaruhannya di negara Indonesia.

Di bidang kebudayaan, tindakan Belanda yang ternyata “membongkar” akar tradisi yang berkembang sebelumnya ialah upayanya memperkenalkan sistem pendidikan sekolah yang lebih mengutamakan “pengetahuan umum” daripada pengetahuan agama. Tentu saja sistem itu memang dikenalkan, karena merupakan salah satu alat yang ampuh untuk menghancurkan sistem pendidikan mandala (Hindu) dan pesantren (Islam) yang sudah berlangsung di kalangan msyarakat Indonesia. Bahkan kemudian ternyata, berkat dukungan penguasa, sistem pendidikan itulah yang kemudian lebih banyak dianut di Indonesia, termasuk lembaga-lembaga pendidikan yang sebenarnya berdasarkan Islam.

Unsur-unsur budaya Barat lainnya, juga sedikit demi sedikit berhasil menggusur unsur budaya tradisional yang sebenarnya sudah lama berkembang di kalangan masyarakat Indonesia. Pembaratan itu terus berlangsung, sementara peng-Islaman mengalami kemunduran.

Di bidang pemikiran, misalnya, kita sekarang umumnya lebih mengenal Plato, Socrates, Bertrand Russel, atau bahkan Marx, daripada misalnya Muhammad Abduh, Iqbal, Jamaluddin al-Afghani, dan Umar Kayam. Bahkan, barangkali patut dipertanyakan, siapa orang Sunda sekarang yang mengenal Hasan Mustapa atau Nawawi al-Bantani labih baik daripada pengenalannya terhadap tokoh-tokoh filusuf Eropa itu.

C. Jalan Keluar

Dari gambaran kasar itu jelas nampak bahwa budaya Sunda dan budaya Barat merupakan dua kutub yang saling berhadapan. Dalam lawungan (konfrontasi) itu juga terlihat bahwa budaya Sunda berada pada kedudukan yang lebih lemah. Kedudukan lemah ini terutama disebabkan oleh sangat berperannya faktor terakhir dalam lawungan itu, yaitu teknologi yang menjadi ciri budaya Barat, dengan tradisi yang merupakan ciri budaya Sunda.

Kedudukan yang sudah lemah itu kemudian diperparah oleh adanya pemihakan dari para penentu dan pelaksana kebijakan terhadap teknologi. Pada gilirannya, pemihakan terhadap teknologi itu sebenarnya berangkat dari anggapan bahwa teknologi mencerminkan kemajuan ilmu, sedangkan segala sesuatu yang dianggap ilmiah senantiasa bersumber dari budaya Barat.

Singkatnya, di dalam menghadapi pengaruh budaya Barat, kita dituntut untuk (a) secara terbuka menerima pengaruh itu, (b) menyaring, mengolah, dan memilih unsur budaya Barat yang sesuai dengan keperluan, dan (c) menggali semua kemungkinan yang terkandung dalam khazanah kita sendiri.

Dengan demikian, semboyan kembali ke tradisi, seharusnya ditafsirkan sebagai kesediaan untuk menggali khazanah batin kita sendiri, kemudian kita jadikan sebagai imbangan di dalam menghadapi pengaruh Barat.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Di akhir tulisan ini penulis dapat menyimpulkan bahwa :

Budaya Barat perlu disaring, maksudnya bahwa semua hal yang datang dari Barat dan bernilai postitif serta menguntungkan perlu dipelajari dan didalami seperti teknologi, kedisiplinan kerja dan lain sebagainya. Sedangkan yang bernilai negatif perlu dibuang jauh-jauh.

Kenakalan remaja karena pengaruh budaya Barat juga bisa dilihat dari aspek psikologisnya yaitu rasa minder dan kurang percaya diri sehingga setiap orang tua dalam hal ini perlu mengawasi tontonan anak-anaknya dan menanamkan ajaran agama disamping pengetahuan umum lainnya mengenai budaya Barat yang merusak sehingga bisa menghindarinya.

B. Saran

· Sebaiknya pihak sekolah dan orang tua saling bekerjasama mengontrol anak didiknya untuk tidak terbawa arus bebas budaya barat.

· Masyarakat harus lebih bisa menyaring budaya yang masuk ke dalam lingkungan masyarakat dan diharapkan agar bisa juga mengembangkan budanya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

- Aca (Atja). 1970: Tjarita Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda Kuno dari Lereng Gunung Tjikurai. Bandung. Lembaga Bahasa dan Sedjarah.

- Ayatrohaedi. 1986. Niskalawastukancana (1348-1475): Raja Sunda Terbesar? Makalah pada pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. PT. Gramedia. Cipanas.

- Ayat Rohaedi, Dkk. 1982: Kawih Paningkes dan Jatinisakala. Alihaksara dan Terjemaham, 1994 : Bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayan Sunda. Bandung. PT. Raja Grafindo

- Cotesao, Armando. 1944: The Suma Oriental of Tome Pires. 2 Jilid. Haklyut Society. London.

- Sumber: Makalah Seminar, “Islam dalam Kebudayaan Sunda; antara Cita dan Realita”, IAIN Sunan Gunung Djati. Bandung.

No comments:

Post a Comment